Hal ini dapat kita lihat pada produk hukum negara berupa undang-undang yang sangat tidak memihak pada perempuan. Taruhlah misalnya Undang-Undang Pornografi dan Perda larangan ngangkang di Aceh yang isinya malah mendiskriminasikan perempuan. Ataupun juga dengan hukuman yang diberikan kepada pelaku pelecehan dan kekerasan tidak membuat efek jera sehingga pelaku lain masih bebas berkeliaran. Pada akhirnya, dengan kondisi ini, perempuan kehilangan hak-haknya dan terasing di antara manusia lain dalam entitas keperempuanan mereka.
Dalam patriarki, terdapat pembagian kerja dalam
keluarga, dimana tugas-tugas domestik dikerjakan oleh perempuan tanpa digaji.
Memasak, mengurus rumah, membesarkan anak hingga mengatur keuangan keluarga
dibebankan kepada perempuan. Bahkan, tak jarang kekerasan dalam rumah tangga
terjadi justru dianggap sebagai hal yang lumrah pola pikir masyarakat bahwa
suami berhak melakukan apapun terhadap istrinya karena suami adalah pencari
nafkah dalam keluarga. Pada sektor publik, posisi perempuan ditempatkan pada
wilayah yang bukan prioritas. Perempuan lebih sering menempati pekerjaan di
sektor pelayanan jasa ataupun pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya umum semisal
sekretaris atau kasir. Seringkali juga perempuan dijadikan objek kekerasan dan
pelecehan seksual, baik secara verbal, fisik dan psikis. Ini dikarenakan
anggapan secara umum bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah, mudah
diintimidasi tanpa sanggup melawan. Ketika terjadi pelecehan seksual, justru
malah perempuan yang dipersalahkan sehingga perempuan tidak berhak sama sekali
atas tubuh, pikiran dan tindakan mereka.
Kasus-kasus kekerasan pun meningkat dengan
tajam. Dan kasus yang baru-baru ini terjadi adalah kasus pelecehan seksual
seorang siswi SMU yang dilakukan oleh wakil kepala sekolah SMU tersebut di
daerah Jakarta Timur. Dari data Komnas Perempuan, ada 119 ribu kasus kekerasan
terjadi selama 2012, meningkat sebanyak 13,32 persen dari tahun 2011 sebanyak
105 ribu kasus. Paling banyak kasus yang terjadi adalah kasus kekerasan dalam
rumh tangga (KDRT), disusul kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual.
Di era neoliberalisme sekarang ini, yang paling
merasakan dampaknya adalah perempuan. Lemahnya posisi perempuan dalam keluarga,
hingga para pengusaha mengeruk keuntungan dengan mengorbankan perempuan.
Perempuan juga dianggap sebagai komoditi ; sebagai barang yang dapat
menghasilkan nilai lebih sehingga terjadilah pengeksplotasian terhadap tubuh
mereka sendiri. Iklan-iklan produk bertabur kemolekan tubuh perempuan marak
ditampilkan. Buruh-buruh perempuan digaji rendah dan hak-hak normatif mereka
yang seringkai diabaikan oleh pemilik pabrik seperti cuti haid dan cuti
melahiran. Itulah mengapa mayoritas di pabrik-pabrik, sebagian besar pekerjanya
adalah perempuan. Belum lagi ketakutan-ketakutan kaum perempuan karena tidak
adanya perlindungan keselamatan bagi mereka. Ketika situasi mengharuskan untuk
pulang larut atau naik angkutan umum. (contoh kasus kematian mahasiswi UI
karena melompat dari angkutan umum), mereka dikejar-kejar kecemasan atas
keselamatan diri mereka sendiri. Terbatasnya jaminan kesehatan, tidak adanya
jaminan keselamatan dan jaminan sosial bagi ibu dan anak (semisal Tempat
Penitipan Anak dan ruang menyusui) yang belum direalisasikan oleh pemerintah,
menunjukkan betapa lemahnya peran negara atas keberpihakan mereka terhadap kaum
perempuan.
Situasi seperti ini sudah selayaknya membuka
mata pemerintah kita betapa perempuan butuh jaminan atas diri mereka. Selama
ini, pemerintah dinilai tidak turut memperhatikan nasib kaum perempuan dan
dianggap gagal dalam mewujudkan keadilan bagi perempuan. Jangan salahkan
perempuan ketika mereka berjuang menuntut keadilan dan kesetaraan karena
perlawanan yang mereka tunjukkan adalah bukti perjuangan mereka untuk
mengangkat diri mereka dari kungkungan patriarki dan menuntut tanggungjawab
pemerintah atas nasib mereka. Dapat kita lihat pada perayaan Hari Perempuan
Internasional yang jatuh pada tanggal 8 Maret lalu, organisasi-organisasi pro
demokrasi seperti KPO PRP (Kongres Politik Organisasi Perjuangan Rakyat
Pekerja), Sekber Buruh, Politik Rakyat, Perempuan Mahardika dan yang lainnya
melakukan demonstrasi dengan mengusung tuntutan antara lain agar pemerintah
memberikan jaminan keselamatan terhadap perempuan termasuk jaminan kesehatan
dan akses perlindungan terhadap perempuan, upah layak bagi buruh perempuan,
stop eksploitasi dan kekerasan seksual terhadap perempuan dan kesetaraan
ekonomi politik bagi perempuan.
Sebenarnya ada beberapa langkah yang seharusnya
dilakukan oleh negara mengingat ada begitu banyaknya persoalan yang terjadi
terhadap kaum perempuan.Yang
pertama; perempuan haruslah mendapatkan keadilan dalam bidang ekonomi,
sosial, politik dan hukum. Menghapus undang-undang yang selama ini dianggap
menjauhkan perempuan dari rasa keadilan dan atau membuat undang-undang yang
tidak diskriminatif. Negara memberikan hak berpolitik bagi perempuan,
berkewajiban membebaskan perempuan untuk memilih pekerjaan, memberi upah yang
layak dengan tidak memandang jenis kelamin, menghukum para pengusaha yang tidak
memberikan cuti haid dan cuti hamil hingga cuti melahirkan kepada pekerja
perempuan serta membangun tempat penitipan anak dan dan ruang khusus menyusui
bagi pekerja perempuan yang memiliki anak
Kedua; negara berkewajiban untuk membebaskan perempuan dari
eksploitasi dan kekerasan seksual. Memberikan sanksi atau hukuman yang dapat
memberikan efek jera terhadap pelaku kekerasan melalui penerapan yang tegas
terhadap produk hukum yang ada dengan tidak memandang kedudukan dan jabatan si
pelaku. Dan negara juga harus memberikan jaminan kesehatan dan jaminan
keselamatan bagi perempuan. Adanya pemeriksaan kesehatan gratis dan menyeluruh
terhadap organ reproduksi serta keamanan terhadap perempuan yang melakukan
aktivitas terutama di malam hari.
Sekali lagi, negara diharapkan mampu
menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi pada kaum perempuan. Sebab,
sudah merupakan tanggungjawab pemerintah untuk melindungi rakyatnya dan karena
perempuan adalah bagian dari rakyat itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar